“Anak perempuan ini... bukan darah dagingmu.”
Ali berdiri. “Apa maksudmu, May? Kamu serius?!”
Hari itu bukan hari biasa. Pemerintah baru saja mengeluarkan surat edaran: para ayah wajib mengantar anaknya di hari pertama sekolah.
Tujuannya mulia, biar ayah nggak cuma jadi tukang antar-jemput setoran ATM, tapi juga ikut nyambung emosi sama anak-anak.
Ali semangat banget. Dia bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan lebih cepat dari Maya yang biasanya udah ribut di dapur jam 5 subuh.
Hari itu, Ali punya misi penting: mengantar Kevin dan Kania ke sekolah.
Kevin, si sulung, kelas dua SD. Sementara Kania baru masuk TK. Anak kecil mungil yang suka bilang "bingung" tiap ditanya warna sepatu kesukaannya.
Ali mengantar Kevin dulu ke SD, lalu kembali ke rumah menjemput Kania yang sudah siap dengan topi kecil miring dan tas unicorn baru.
Maya muncul dari dapur sambil menggendong bekal anak-anak. “Jangan lupa, TK Kania yang pojok kiri ya, bukan yang deket minimarket!”
Mereka pun berangkat menuju TK Mawar Ceria. Semuanya berjalan lancar. Ali bahkan sempat video-in Kania masuk kelas dengan langkah canggungnya.
Sampai di kantor, Ali merasa menjadi ayah terbaik se-Indonesia. Gak ada kerjaan mendesak, gak ada rapat darurat. Maka siang harinya ia kirim pesan ke Maya:
“Sayang, biar aku aja yang jemput Kania sore ini. Mumpung longgar.”
Maya bales singkat, “Oke. Hati-hati ya. Jangan sampai salah jemput anak orang. Haha.”
Ali cuma bales emoji 🙄.
Sore menjelang. Ali sampai di TK Mawar Ceria. Suasana ramai. Anak-anak mulai keluar satu per satu.
Banyak yang nangis, ada yang guling-guling di tanah, ada juga yang langsung lari ke pelukan orang tuanya.
Sampai akhirnya, Ali melihat seorang anak kecil berdiri sendirian. Rompi merah muda, sepatu putih, dan... tas unicorn.
Ali langsung melambai, “Kaniaaa... ayo pulang!”
Anak itu menoleh. Diam. Lalu pelan-pelan jalan ke arah Ali. Tanpa kata, langsung menggandeng tangan Ali.
Ali tersenyum puas. Dalam hati, dia merasa jadi ayah paling sukses sedunia.
Sesampainya di rumah, Maya sudah duduk di ruang tengah sambil nonton sinetron. Tapi ekspresinya langsung berubah saat melihat anak yang dibawa Ali.
“Ali, duduk sini bentar. Tenang ya...”
Ali kaget. Kenapa nada Maya serius banget?
“Ali... maaf ya. Tapi aku harus jujur hari ini.”
Ali makin tegang. Jantungnya mulai main drum.
“Anak perempuan yang kamu bawa ini... bukan darah dagingmu.”
Ali berdiri. “Apa maksudmu, May? Kamu serius?!”
Maya menatap dalam. “Iya, Ali. Lain kali coba perhatikan wajah anakmu baik-baik. Kamu salah jemput anak. Itu bukan Kania.”
Ali terdiam. Di ruang belakang, si anak kecil sedang membuka kulkas dan sok akrab dengan isi dapur rumah.
Maya mendekat sambil setengah berbisik, “Buruan antar balik ke sekolah. Sebelum kamu viral jadi penculik bocah TK.”
Baru aja mau ambil kunci motor, HP Ali bunyi.
Nomor tak dikenal.
“Pak, ini Bu Dini, guru TK Mawar Ceria. Kami khawatir... sepertinya Bapak tidak sengaja membawa pulang anak kami, Salsa. Kania masih di ruang guru dan menangis.”
Ali tepok jidat.
Anak yang dibawanya menoleh dan nyeletuk santai:
“Om... rumah aku bukan ke sini. Tapi kulkasnya boleh aku buka semua nggak?”
Malam itu Ali duduk di teras, lemas. Maya duduk di sebelahnya sambil cekikikan gak selesai-selesai.
Ali berkata pelan, “May... minggu depan, giliran kamu aja yang jemput Kania. Aku pensiun dulu dari jadi ayah teladan.”
0Komentar
Silahkan memberi komentar sesuai isi artikel yah. Mohon maaf spam dan link aktif akan dihapus. Terima kasih sobat...👍👍👍