JejakBD.web.id - Pak Samin adalah nelayan tua dari kampung pesisir yang dikenal karena kebiasaannya menulis surat kepada Tuhan.
Bagi banyak orang, kebiasaannya itu dianggap aneh—buat apa menulis surat yang takkan pernah dibalas?
Tapi bagi Pak Samin, itu satu-satunya cara untuk curhat, jujur tanpa basa-basi, tanpa takut disalahpahami. Tuhan, katanya, pendengar yang setia.
Baca juga: Cerpen: Kartu Pos untuk Tuhan
Suatu pagi, saat laut terlihat jinak dan langit biru tak berbatas, Pak Samin melaut seperti biasa. Hari itu ia merasa beruntung. Ikan berbondong-bondong masuk ke jaringnya.
Dalam waktu singkat, perahunya hampir penuh. Senyum tak lepas dari wajahnya yang keriput. Ia bersyukur, dalam hati ia berkata, “Tuhan baik hari ini.”
Namun kebahagiaan itu tak lama. Tanpa aba-aba, langit mendadak menghitam. Angin bertiup kencang, gelombang meninggi, membuat perahunya oleng.
Pak Samin panik. Tangannya gemetar memegang dayung. Dengan suara lantang ia menatap langit dan berteriak:
“Tuhan, selamatkan aku dari badai ini. Kalau aku bisa pulang selamat, aku janji akan sedekah 50 ekor ayam buat orang kampung!”
Ajaib, langit mulai terang. Angin reda. Laut kembali tenang. Dengan penuh harap, Pak Samin mendayung kembali ke pantai.
Namun baru setengah perjalanan, badai kembali datang, seolah ingin menguji ketulusan janjinya.
“Tuhan… 30 ayam ya, tapi tolong tenangkan ombaknya dulu…”
Lagi-lagi langit cerah. Ia kembali melaju dengan pelan, makin dekat ke garis pantai. Tapi saat jarak tinggal 300 meter, badai datang lagi untuk ketiga kalinya.
“Tuhan… 10 ayam saja, serius nih… asalkan aku sampai darat.”
Dan seperti sebelumnya, cuaca membaik. Akhirnya ia tiba di bibir pantai dengan selamat. Tanpa luka, tanpa kerusakan. Ia bersujud syukur, namun... janji itu tak pernah ditunaikan.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak ada ayam yang disedekahkan. Janji tinggal janji, menguap bersama waktu dan kesibukan hidup.
Suatu sore yang tenang, saat Pak Samin sedang duduk santai di teras rumahnya sambil ngopi dan menggoyang kursi bambunya, angin tiba-tiba berhembus kencang.
Awan hitam menggulung dari arah laut. Daun-daun beterbangan, dan dari kejauhan, pusaran angin mulai terbentuk. Puting beliung! Dan parahnya—arahnya tepat menuju rumahnya.
Pak Samin melompat dari kursi, panik. Ia berlari ke halaman, mendongak ke langit yang dulu pernah disapanya dengan janji-janji manis.
“Tuhannn… urusan di laut jangan dibawa ke darat dong!!”
Tetangga yang mendengar hanya ternganga. Tapi langit tahu: ada nazar yang belum dibayar.
Catatan penutup:
Cerita Pak Samin ini mungkin fiksi. Tapi di balik tawa yang muncul, ada pesan serius: jangan anggap enteng janji—apalagi janji pada Tuhan.
Karena alam bisa jadi pengingat yang paling tegas… dan tak kenal tempat.
0Komentar
Silahkan memberi komentar sesuai isi artikel yah. Mohon maaf spam dan link aktif akan dihapus. Terima kasih sobat...👍👍👍