Dani, yang dulu pengecut, kali ini bicara. Tentang rasa. Tentang takutnya pada orang tua Lisa.
Lisa hanya menggenggam tangannya erat dan berkata, “Kita hadapi sama-sama.”
Namun satu hal yang tak bisa disangkal: ia pintar. Pintar dengan cara yang tak mencolok, seperti cahaya lampu meja di malam hari—hangat, tapi tak menyilaukan.
Ia menjalani hari-hari SMA-nya seperti angin yang lewat di sela-sela dedaunan, nyaris tanpa suara.
Sampai Lisa datang.
Murid baru kelas satu itu muncul seperti matahari yang tak sengaja menyorot langsung ke wajah.
Sampai Lisa datang.
Murid baru kelas satu itu muncul seperti matahari yang tak sengaja menyorot langsung ke wajah.
Sederhana, tak berdandan macam gadis-gadis populer, tapi senyum dan tatapannya mengusik diam Dani.
Lisa tak tahu, barangkali, bahwa banyak mata cowok-cowok di sekolah itu sudah menaruh harap padanya. Tapi Dani, yang hanya memandang dari jauh, tak pernah punya cukup keberanian.
Hingga satu tatapan singkat di lorong sekolah berubah jadi kebiasaan baru: pulang dengan angkot yang sama.
Lisa selalu duduk di depan, Dani di tengah.
Hingga satu tatapan singkat di lorong sekolah berubah jadi kebiasaan baru: pulang dengan angkot yang sama.
Lisa selalu duduk di depan, Dani di tengah.
Diam-diam mereka saling mengintip lewat kaca spion kecil. Kadang, pandangan mereka bertemu, cepat-cepat berpaling.
Tapi dalam diam itu, sesuatu tumbuh. Pelan. Rapi. Indah.
Lisa mulai sering mengajak Dani ke rumahnya. Alasannya sederhana: butuh bantuan mengerjakan tugas.
Lisa mulai sering mengajak Dani ke rumahnya. Alasannya sederhana: butuh bantuan mengerjakan tugas.
Dani datang dengan ragu-ragu, lebih gugup pada kemungkinan bertemu orang tua Lisa ketimbang soal matematika yang harus dijelaskan.
Dani tahu, dari pandangan mata ayah Lisa yang tak hangat, bahwa dirinya bukan pria yang diharapkan. Apalagi ibunya, yang selalu bicara sopan tapi dingin, seperti menyajikan teh panas dalam cangkir es.
Dani tahu, dari pandangan mata ayah Lisa yang tak hangat, bahwa dirinya bukan pria yang diharapkan. Apalagi ibunya, yang selalu bicara sopan tapi dingin, seperti menyajikan teh panas dalam cangkir es.
Mereka tak pernah mengusir, tapi Dani bisa membaca isyarat. Dan karena itulah, perlahan Dani menjauh.
Bukan karena dia tak suka Lisa, tapi karena dia tak ingin menyakiti dirinya sendiri lebih jauh.
Ia merantau. Kuliah, lalu bekerja. Menjalani hidup dengan diam yang sama.
Lalu takdir, entah iseng atau iba, mempertemukan mereka lagi di kota tetangga.
Lisa sedang kuliah di sana, dan ketika mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah toko buku kecil, seluruh rasa yang terkubur pelan-pelan menyeruak seperti aroma tanah setelah hujan pertama.
Ia merantau. Kuliah, lalu bekerja. Menjalani hidup dengan diam yang sama.
Lalu takdir, entah iseng atau iba, mempertemukan mereka lagi di kota tetangga.
Lisa sedang kuliah di sana, dan ketika mereka bertemu secara tak sengaja di sebuah toko buku kecil, seluruh rasa yang terkubur pelan-pelan menyeruak seperti aroma tanah setelah hujan pertama.
Mereka bicara, tertawa, dan seperti tak pernah terpisah. Dani, yang dulu pengecut, kali ini bicara. Tentang rasa. Tentang takutnya pada orang tua Lisa.
Lisa hanya menggenggam tangannya erat dan berkata, “Kita hadapi sama-sama.”
Dan Dani percaya. Untuk pertama kalinya, ia percaya.
Hari-hari setelahnya penuh warna. Mereka berbagi mimpi, berbagi rencana, dan bahkan mulai membicarakan rumah seperti apa yang ingin mereka bangun kelak.
Lisa hanya menggenggam tangannya erat dan berkata, “Kita hadapi sama-sama.”
Dan Dani percaya. Untuk pertama kalinya, ia percaya.
Hari-hari setelahnya penuh warna. Mereka berbagi mimpi, berbagi rencana, dan bahkan mulai membicarakan rumah seperti apa yang ingin mereka bangun kelak.
Lisa berkata bahwa ia sudah mulai mengenalkan Dani ke orang tuanya. Perlahan. Tapi pasti. Dani merasa menang.
Suatu pagi di semester enam, Lisa berpamitan. Ada program studi banding ke Bandung selama dua minggu.
Suatu pagi di semester enam, Lisa berpamitan. Ada program studi banding ke Bandung selama dua minggu.
Dani mengantar sampai bandara. Mereka tak berkata banyak saat itu, hanya saling pandang, saling menguatkan.
Sebelum masuk ke gate keberangkatan, Lisa menoleh dan melambaikan tangan.
Lambai yang biasa. Tapi Dani entah kenapa merasa ada sesuatu yang aneh di dadanya.
Tiga hari kemudian, Dani menonton televisi sambil menyantap mie instan yang baru saja dia masak. Suara presenter tiba-tiba berubah tegang:
“Breaking news. Satu bus rombongan mahasiswa mengalami kecelakaan di kawasan Cikidang. Bus terperosok ke jurang. Semua penumpang dinyatakan meninggal dunia…”
Dani membeku. Mie di mulutnya hambar. Tangannya gemetar meraih ponsel. Dia membuka Facebook.
Dan di sana, dunia yang dia kenal runtuh.
Berderet status teman-teman SMA. Foto-foto Lisa. Kata-kata duka. Tangisan virtual.
Nama itu. Namanya. Disebut. Tapi Dani tak merasa hidup.
Ia hanya duduk. Terdiam. Dunia terasa tak nyata. Lalu, air matanya jatuh. Satu. Dua. Deras. Ia membayangkan lambaian tangan Lisa di bandara.
Lambai yang biasa. Tapi Dani entah kenapa merasa ada sesuatu yang aneh di dadanya.
Tiga hari kemudian, Dani menonton televisi sambil menyantap mie instan yang baru saja dia masak. Suara presenter tiba-tiba berubah tegang:
“Breaking news. Satu bus rombongan mahasiswa mengalami kecelakaan di kawasan Cikidang. Bus terperosok ke jurang. Semua penumpang dinyatakan meninggal dunia…”
Dani membeku. Mie di mulutnya hambar. Tangannya gemetar meraih ponsel. Dia membuka Facebook.
Dan di sana, dunia yang dia kenal runtuh.
Berderet status teman-teman SMA. Foto-foto Lisa. Kata-kata duka. Tangisan virtual.
"Selamat jalan, Lisa. Semoga tenang di sana."
"Gak nyangka secepat ini. Rest in peace, teman baik."
"Ingat banget waktu kalian sama Dani dulu... semoga Dani kuat..."
Nama itu. Namanya. Disebut. Tapi Dani tak merasa hidup.
Ia hanya duduk. Terdiam. Dunia terasa tak nyata. Lalu, air matanya jatuh. Satu. Dua. Deras. Ia membayangkan lambaian tangan Lisa di bandara.
Senyumnya. Tatapannya. Janji-janji yang kini tak sempat ditepati.
Bersama bus yang jatuh ke jurang itu, hancur pula sebagian jiwanya.
Malam itu, Dani duduk memandangi langit yang gelap. Tak ada bintang. Hanya bulan yang sayu.
Ia menggenggam foto polaroid kecil mereka berdua. Dulu di taman, ketika Lisa pertama kali bilang, “Kamu itu bukan siapa-siapa, tapi kamu berarti buat aku.”
Dan kini, Dani hanya bisa membisik pelan pada bayangan yang tinggal kenangan:
"Lisa... aku bukan siapa-siapa... tapi tanpamu, aku kehilangan segalanya..."
Bersama bus yang jatuh ke jurang itu, hancur pula sebagian jiwanya.
Malam itu, Dani duduk memandangi langit yang gelap. Tak ada bintang. Hanya bulan yang sayu.
Ia menggenggam foto polaroid kecil mereka berdua. Dulu di taman, ketika Lisa pertama kali bilang, “Kamu itu bukan siapa-siapa, tapi kamu berarti buat aku.”
Dan kini, Dani hanya bisa membisik pelan pada bayangan yang tinggal kenangan:
"Lisa... aku bukan siapa-siapa... tapi tanpamu, aku kehilangan segalanya..."
Tiba-tiba hape Dani berdering, layar menampilkan nama: Lisa. Dunia seolah berhenti. Tangannya gemetar, matanya membelalak tak percaya. Serasa déjà vu yang tak masuk akal.
Dengan suara bergetar, Dani menjawab. Di ujung sana, terdengar isakan—Lisa menangis.
“Aku selamat, Dani… aku turun sebentar ke toilet waktu bus berhenti di pom bensin. Pas keluar... busnya udah jalan lagi. Aku pikir mereka bercanda ninggalin aku... tapi nggak ada yang sadar aku turun. Mereka semua... mereka semua pergi, Dani…”
Suaranya pecah, menembus dada Dani yang masih menyisakan air mata kehilangan. Rasa syukur dan duka bercampur jadi satu. Dunia memberinya Lisa kembali—tapi tidak dengan cara yang ia bayangkan.
0Komentar
Silahkan memberi komentar sesuai isi artikel yah. Mohon maaf spam dan link aktif akan dihapus. Terima kasih sobat...👍👍👍