Matahari belum tinggi, tapi aroma kopi sudah mulai mengisi seluruh rumah.
Di dapur kecil mereka, Maya berdiri sambil mengaduk-aduk kopi bubuk di dalam cangkir, menuang air panas dengan penuh perhatian.
Setiap gerakannya seperti otomatis—ritual pagi yang ia lakukan dengan hati.
Ali, suaminya, masih bergelung di balik selimut. Tapi suara mesin kopi yang menyala pelan sudah cukup membuatnya bangun.
Ali, suaminya, masih bergelung di balik selimut. Tapi suara mesin kopi yang menyala pelan sudah cukup membuatnya bangun.
Dengan rambut acak-acakan dan langkah gontai, ia berjalan menuju dapur, seperti seorang tentara yang tahu harus berdiri di barisan depan begitu mendengar genderang perang—atau dalam hal ini, aroma kopi.
"Selamat pagi, Maya," sapa Ali sambil duduk di kursi makan dengan mata setengah terbuka.
"Selamat pagi, Mas," jawab Maya dengan senyum kecil, sambil menyodorkan secangkir kopi panas ke hadapan suaminya.
Ali mengambil cangkir itu dengan penuh penghayatan, seperti menerima anugerah hidup. Ia menyeruput pelan, matanya terpejam, menikmati rasa pahit dan aroma yang menenangkan.
"Enak banget, seperti biasa," gumamnya.
"Ya iyalah. Takaran kopi favorit kamu: lima sendok perak dan satu sendok cinta," canda Maya sambil duduk di kursi seberang.
Ali tertawa kecil, masih menggenggam cangkirnya. "Pantesan rasanya beda. Cintanya yang bikin nagih, ya?"
Maya memutar bola mata sambil tersenyum geli. Tapi ada yang mengganjal di pikirannya. Ia memperhatikan suaminya yang seakan tak bisa hidup tanpa kopi.
"Mas, kamu tuh kenapa sih doyan banget ngopi? Tiap pagi, tiap sore, kadang malam juga nyeduh sendiri," tanyanya sambil memiringkan kepala.
Ali menyandarkan punggung ke kursi, menatap Maya sambil memainkan sendok kecil di tangannya.
"Karena kopi itu bikin rileks, May. Rasanya kayak bisa ngelupain dunia sebentar."
Maya mengangguk pelan.
"Selamat pagi, Maya," sapa Ali sambil duduk di kursi makan dengan mata setengah terbuka.
"Selamat pagi, Mas," jawab Maya dengan senyum kecil, sambil menyodorkan secangkir kopi panas ke hadapan suaminya.
Ali mengambil cangkir itu dengan penuh penghayatan, seperti menerima anugerah hidup. Ia menyeruput pelan, matanya terpejam, menikmati rasa pahit dan aroma yang menenangkan.
"Enak banget, seperti biasa," gumamnya.
"Ya iyalah. Takaran kopi favorit kamu: lima sendok perak dan satu sendok cinta," canda Maya sambil duduk di kursi seberang.
Ali tertawa kecil, masih menggenggam cangkirnya. "Pantesan rasanya beda. Cintanya yang bikin nagih, ya?"
Maya memutar bola mata sambil tersenyum geli. Tapi ada yang mengganjal di pikirannya. Ia memperhatikan suaminya yang seakan tak bisa hidup tanpa kopi.
"Mas, kamu tuh kenapa sih doyan banget ngopi? Tiap pagi, tiap sore, kadang malam juga nyeduh sendiri," tanyanya sambil memiringkan kepala.
Ali menyandarkan punggung ke kursi, menatap Maya sambil memainkan sendok kecil di tangannya.
"Karena kopi itu bikin rileks, May. Rasanya kayak bisa ngelupain dunia sebentar."
Maya mengangguk pelan.
"Iya, tapi aku pernah baca kalau kebanyakan kopi itu nggak bagus buat lambung. Bisa-bisa asam lambung kamu kambuh lagi. Kamu kan pernah tuh, sampai masuk IGD cuma gara-gara kopi campur mie instan."
Ali tertawa keras, mengingat tragedi malam itu.
"Itu karena perutku kaget aja. Kombinasinya ajaib."
"Ajaib-ajaib, tapi bikin aku panik waktu itu," gumam Maya, kali ini nadanya sedikit serius.
Ali tersenyum, merasa bersalah sekaligus tersentuh. Ia tahu Maya selalu perhatian.
Ali tertawa keras, mengingat tragedi malam itu.
"Itu karena perutku kaget aja. Kombinasinya ajaib."
"Ajaib-ajaib, tapi bikin aku panik waktu itu," gumam Maya, kali ini nadanya sedikit serius.
Ali tersenyum, merasa bersalah sekaligus tersentuh. Ia tahu Maya selalu perhatian.
Sejak awal menikah, Maya lah yang rajin mengingatkan: makan teratur, jangan terlalu banyak begadang, kurangi kopi.
Tapi ia juga tahu, Maya tidak pernah benar-benar melarang. Ia hanya... khawatir.
"Tenang, May. Aku udah tahu batasnya kok. Aku cuma minum pas butuh aja. Lagi pula..."
Ali berhenti sejenak, menatap cangkir di tangannya, lalu berkata dengan nada setengah bercanda:
"Kopi itu punya khasiat loh."
"Khasiat apaan?" tanya Maya sambil mengangkat alis.
Ali menatap istrinya, senyumnya mulai mengembang.
"Kopi berkhasiat menghilangkan stres."
Maya mengangguk pelan, seolah mengerti.
"Oh gitu... Hmm, emang sejak kapan kamu doyan banget ngopi, Mas?"
Ali tersenyum tipis, menaruh cangkirnya ke meja, lalu memandang Maya dengan tatapan dalam dan nada kalem.
Tapi ia juga tahu, Maya tidak pernah benar-benar melarang. Ia hanya... khawatir.
"Tenang, May. Aku udah tahu batasnya kok. Aku cuma minum pas butuh aja. Lagi pula..."
Ali berhenti sejenak, menatap cangkir di tangannya, lalu berkata dengan nada setengah bercanda:
"Kopi itu punya khasiat loh."
"Khasiat apaan?" tanya Maya sambil mengangkat alis.
Ali menatap istrinya, senyumnya mulai mengembang.
"Kopi berkhasiat menghilangkan stres."
Maya mengangguk pelan, seolah mengerti.
"Oh gitu... Hmm, emang sejak kapan kamu doyan banget ngopi, Mas?"
Ali tersenyum tipis, menaruh cangkirnya ke meja, lalu memandang Maya dengan tatapan dalam dan nada kalem.
"Sejak nikah sama kamu."
Maya terdiam sejenak. Matanya melebar, lalu pelan-pelan bibirnya membentuk senyum sinis. Ia mengambil bantal kursi dan melemparkannya ke arah Ali.
"Jadi aku yang bikin kamu stres gitu ya?!"
Maya terdiam sejenak. Matanya melebar, lalu pelan-pelan bibirnya membentuk senyum sinis. Ia mengambil bantal kursi dan melemparkannya ke arah Ali.
"Jadi aku yang bikin kamu stres gitu ya?!"
0Komentar
Silahkan memberi komentar sesuai isi artikel yah. Mohon maaf spam dan link aktif akan dihapus. Terima kasih sobat...👍👍👍