“Jadi, Mas,” Maya menatap suaminya dengan senyum nakal, “bisa dibilang, kamu adalah kesalahan yang paling menyenangkan dalam hidupku.”
Sore itu, Maya duduk santai di teras rumah, dikelilingi aroma bunga melati yang mekar di halaman kecil mereka.
Secangkir teh hangat menggenggam tangannya, ditemani suara anak-anak mereka yang tertawa riang bermain di dalam rumah.
Ali, suaminya, datang menghampiri dan duduk di sebelahnya, ikut menyesap keheningan sore. Sudah hampir sepuluh tahun pernikahan mereka berjalan.
Sejak awal, hidup mereka sederhana, tapi hati mereka selalu penuh, terlebih saat dua buah hati hadir melengkapi.
Bukan tanpa rintangan, namun mereka berhasil melalui segala kerikil yang ada, dan kini rasa syukur dan bahagia hadir setiap hari. Tapi sore ini, Maya merasa ada satu hal yang belum pernah benar-benar ia tanyakan.
“Mas…” bisik Maya pelan. Ali menoleh, menatapnya dengan penuh perhatian. “Sebenarnya, bagaimana ceritanya kamu bisa menemukanku dulu?”
Ali tertawa kecil, sedikit terkejut karena pertanyaan itu datang setelah sekian lama. Ia mengusap dagunya, lalu menatap ke kejauhan seolah mencoba mengumpulkan setiap memori.
“Ya Tuhan, aku belum pernah cerita, ya?” gumam Ali dengan senyum. “Baiklah, ceritanya agak lucu sih, sebenarnya…”
Ali mulai berkisah. Ternyata, jauh sebelum mereka diperkenalkan lewat foto, mereka sudah pernah berada di satu ruangan yang sama.
Bukan tanpa rintangan, namun mereka berhasil melalui segala kerikil yang ada, dan kini rasa syukur dan bahagia hadir setiap hari. Tapi sore ini, Maya merasa ada satu hal yang belum pernah benar-benar ia tanyakan.
“Mas…” bisik Maya pelan. Ali menoleh, menatapnya dengan penuh perhatian. “Sebenarnya, bagaimana ceritanya kamu bisa menemukanku dulu?”
Ali tertawa kecil, sedikit terkejut karena pertanyaan itu datang setelah sekian lama. Ia mengusap dagunya, lalu menatap ke kejauhan seolah mencoba mengumpulkan setiap memori.
“Ya Tuhan, aku belum pernah cerita, ya?” gumam Ali dengan senyum. “Baiklah, ceritanya agak lucu sih, sebenarnya…”
Ali mulai berkisah. Ternyata, jauh sebelum mereka diperkenalkan lewat foto, mereka sudah pernah berada di satu ruangan yang sama.
Saat itu, sebuah seminar besar mengumpulkan banyak orang, dan Maya adalah salah satunya.
Ali melihat Maya dari jauh, sosoknya mencuri perhatian Ali tanpa alasan yang jelas.
![]() |
Ali yang diam-diam memperhatikan Maya |
“Entah kenapa, saat itu aku nggak bisa berhenti memperhatikan kamu,” kata Ali sambil mengenang.
“Kamu duduk di baris ketiga, menyimak pembicara dengan penuh konsentrasi. Kamu nggak tahu kan, aku dari jauh melihat caramu menulis, mengangguk, lalu tertawa saat ada pembicaraan yang lucu?”
Maya menggelengkan kepala, tersenyum kecil. Ia benar-benar tidak pernah menyadari bahwa ada sosok pria yang memperhatikannya di sana.
“Aku penasaran,” lanjut Ali, “dan waktu itu aku impulsif banget. Aku sampai berusaha mendekati panitia, pura-pura tanya soal absen peserta.
Di situ aku lihat namamu—Maya. Aku sampai menghitung posisi kursi untuk memastikan bahwa itu memang kamu.”
Maya tertawa kecil mendengar pengakuan itu, sementara Ali terus melanjutkan kisahnya.
Setelah menemukan nama dan sedikit informasi, Ali tidak langsung berani menyapa Maya. Ia memilih mencari informasi lebih jauh. Lewat seorang teman, ia akhirnya menemukan kontak yang bisa menghubungkannya dengan Maya.
Tapi perkenalan mereka tidak berjalan seperti umumnya. Ali tahu bahwa Maya tidak terlalu suka basa-basi. Jadi, dengan foto sederhana dirinya, ia mencoba menitipkan pesan.
“Aku masih ingat, waktu itu aku hanya mengirimkan fotoku dulu,” kata Ali sambil tersenyum malu. “Aku hanya berharap kamu mau mempertimbangkannya. Tapi, nggak nyangka kamu minta aku langsung datang melamar.”
Maya tersenyum kecil, mengenang saat itu dengan hati hangat. Ia sendiri sempat terkejut dengan keberanian dirinya meminta Ali melamar tanpa pernah bertemu langsung.
Ali tertawa kecil. “Kalau dipikir-pikir sekarang, kenapa kamu nggak minta ketemuan dulu? Kenapa kamu setuju hanya dari fotoku?”
Senyuman di wajah Maya perlahan berubah menjadi tawa yang tertahan. Ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan sesuatu yang selama ini ia pendam.
“Mas… sebenarnya, dulu itu aku salah orang.”
Ali berhenti tertawa dan memandang Maya dengan heran. “Maksudnya?”
Maya memegang tangan Ali erat, mencoba menahan tawa yang sulit ia sembunyikan. “Jadi… waktu itu, penghubung kita menyebut namamu, ‘Ali’.
Di pikiranku, aku mengira ‘Ali’ yang dimaksud adalah ‘Alif’.”
Ia tersenyum malu-malu. “Kamu ingat Alif? Teman satu sekolah yang dulu pernah aku suka? Waktu namamu disebut, aku langsung membayangkan sosoknya…”
Ali terpaku. Hatinya antara geli dan bingung. “Jadi… selama ini kamu setuju menikah karena mengira aku orang lain?”
Maya tersenyum, kali ini dengan mata yang berkaca-kaca. “Awalnya iya, Mas… aku malu sekali waktu tahu bahwa yang datang ke rumah itu bukan sosok yang dulu kuimpikan.”
Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun ia tidak menyesali apa yang terjadi.
“Tapi waktu melihatmu, ada sesuatu yang menyentuh hatiku. Rasa salah itu seketika hilang saat kamu duduk dan memperkenalkan dirimu di hadapan orang tuaku.”
Ali terdiam, mendengar setiap kata yang terucap dari bibir Maya dengan hati yang terasa berdesir.
“Bukan karena aku pasrah, Mas. Tapi… di saat itu aku melihat keikhlasan di wajahmu. Cara kamu memandang dan menyapaku, memberi rasa hangat yang berbeda.
![]() |
Ali saat melamar Maya |
Dari detik itu, aku tahu, kalau mungkin takdir memang mempertemukan kita dengan cara yang unik. Mungkin memang kamu yang harus menjadi pendamping hidupku.”
Ali terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca, hatinya penuh rasa syukur. Ia tidak menyangka, bahwa dari sebuah kesalahpahaman sederhana, ia menemukan seorang istri yang ternyata lebih dari yang pernah ia impikan.
“Dan sekarang aku paham, kenapa aku nggak pernah bisa berhenti mencintaimu,” jawab Ali dengan suara bergetar. “Aku bersyukur, karena aku memilih untuk melihat absen hari itu. Dari hal kecil yang iseng, aku menemukan cinta yang sesungguhnya.”
Mereka terdiam, saling menggenggam tangan erat, di bawah senja yang mulai memerah di langit.
Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, hanya senyum dan tatapan penuh rasa yang membuat mereka sadar, bahwa cinta yang mereka miliki memang sudah digariskan sejak awal.
Di balik setiap kebetulan, Tuhan sudah merencanakan sesuatu yang lebih indah dari yang bisa mereka bayangkan.
Dari sebuah absen, sebuah nama, hingga sebuah pertemuan yang tak disengaja—semua membawa mereka kepada cinta yang utuh dan abadi.
0Komentar
Silahkan memberi komentar sesuai isi artikel yah. Mohon maaf spam dan link aktif akan dihapus. Terima kasih sobat...👍👍👍